Character Building

Beberapa waktu belakangan ini, ’karakter’ disebut-sebut sebagai pertimbangan dalam menyeleksi eksekutif, “Dia punya karakter,” demikian kata orang dan tentunya konotasi ungkapan itu terarah positif.

 

Wajar bila kita juga demikian berespons dalam hati: “Apakah saya punya karakter?” Atau, “Saya ingin ber-karakter, tapi tidak tahu cara mengembangkannya.”

Kita sudah punya karakter bahkan sejak lahir, karena karakter adalah kumpulan kualitas dan reaksi dalam diri individu. Permasalahannya adalah apakah ada ciri khas yang membuat karakter kita menonjol dan lebih berarti ketimbang orang lain? Bila ada, maka orang lain bisa dengan mudah menggambarkan karakter kita.

Orang yang berkarakter tidak sama dengan ’orang baik’. Salah seorang dosen saya, misalnya, selalu ramah dan baik hati. Namun, cara berjalannya seperti layang-layang putus. Bila berjabat tangan terasa jabatan yang tidak menggenggam, tidak “berarti”.

Setelah mengenal lebih lanjut, ternyata dosen ini dalam pekerjaannya tidak tegas, tidak membuat perubahan, konformis tanpa sikap kritis sehingga di bawah pimpinannya, bagiannya tidak berkembang.

Orang yang dikatakan ber-karakter biasanya dikenali dengan orang yang dikagumi dan direspek, bisa membedakan hal baik dan buruk dengan tegas, serta menjadikan lingkungannya lebih baik.

“I will be what I will to be”

“Chose your attitude” tantangan pertama adalah mendesain gambaran pribadi anda sendiri. Apakah ingin menjadi orang yang ’low profile’, rendah hati, halus? Ataukah agresif, senang tantangan dengan ’exposure’ tinggi. Kita perlu visi hidup yang jernih sehingga bisa mengarahkan pembentukan karakter.

Karakter berasal dari ’habit’

Bila kita ingin berkarakter menonjol, kita perlu mempermudah orang lain untuk mengenali kekhasan kita. Kesamaan reaksi, gaya bicara dalam menghadapi situasi apapun, dari waktu ke waktu, perlu konsisten. Penting juga untuk menjaga konsistensi apa yang kita katakan dan kita lakukan.

Secara otomatis konsistensi membentuk habit, yaitu kebiasaan bereaksi pada tiap momen dalam hidup kita. Habit yang terbentuk inilah yang menghasilkan ’kekuatan pribadi’ dan memancarkan aura yang lebih kuat dibandingkan habit yang tidak terbentuk karena tidak konsistennya reaksi individu.

Kompetensi membentuk karakter

Sering terjadi reaksi individu “pekewuh’, ragu, tidak cermat, karena ia tidak bisa, atau tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi situasi yang sulit. Untuk itulah kita perlu berambisi untuk senantiasa berbuat apa dalam menghadapi situasi yang sulit.

Kompetensi perlu dikembangkan tidak sebatas pada keterampilan dan pengetahuan saja, tapi juga sikap profesional dan prinsip. Galilah prinsip profesional dari orang-orang yang lebih berpengalaman, pertemuan profesi, buku, jurnal, dan pelatihan.

Tingkatkan kepekaan

Dalam pertemuan kelompok, bila individu ditanya “Apa yang bisa anda kontribusikan ke tim untuk memperbaiki kinerja?”. Ia akan meng-gagap bila ia tidak peka tentang keberadaannya dalam situasi tersebut.

“Positioning” diri sendiri dalam situasi sosial memerlukan kejelasan dan kepekaan setiap saat, sehingga reaksi yang dibentuk selalu bisa disadari dan dikontrol. Hanya dengan kontrol kuat terhadap reaksi kita, maka kita bisa membentuk reaksi yang relevan. (Experd)